G U R A T

Gurat itu bercerita tentang tenang.
Ringan saja tampaknya sang empu meredam letupan.
Isyaratkan masa pertemanannya dengan persoalan?
Seperti sudah melewati cemas-cemas, atau perih-perih?
Resah-resah yang terkelola.
Stabil diantara ke-chaos-an pola.
Elegan menggenggam kedalaman.
Tebal, empuk, luwes.

Memerdekakan.

“Tak apa, tak sakit. Jangan lagi ada sakit, tidak pula padamu”.
GOD, damn!
Ia sudah selesai dengan dirinya sendiri?

Ketenangan yang menghipnotis.
Gurat itu bicara tentang kepastian.
Seperti kesetiaan yang bersambut pada peleburan entitas.

Aku jatuh cinta.
Aku hilang.

Balada Mahjong dan Mesin Waktu

Namaku Iso.
Aku punya mesin waktu sederhana.
Bersamanya aku bisa melanglangi penggalan episode kepernah-pernahanku.
Mengisi satu eraku dengan rekayasa peristiwa, mencipta cerita, menghidupkan pun membunuh suka-suka, aku bisa.
Mesin waktu sederhanaku adalah laptop dan sebuah game aplikasi yang terinstal didalamnya, Mahjong.

Ntahlah.
Game kecil itu memang menyita atensi untuk terfokus padanya, namun biasa saja.
Pikir? Rasanya aku tak perlu keras berpikir.
Cepat? Sama sekali tak bertenggat waktu, waktu tak perlu dilawan, waktu adalah kawan, aku suka berkawan.
Tangkas? Ahhh…
Mataku hanya menyusur santai pada keping-kepingnya, tak perlu serius-serius amat mencermati detilnya satu-satu.

Sebagaimana menikmati hiburan, ringan saja.
Mungkin karnanya, aku masih bisa membagi konsentrasi.
Impuls-impuls di kepala masih bisa melambai, menggapai, kadang somplak pula mengacak-acak dokumen ingatan.
Pembiaran pada sikon, narasi lamat-lamat terpertegas seiring terpancingnya rasa untuk terlibat.
Lalu, ya gitu, lajui portal lintas waktu.

Penjelajahanku menembus waktu, tak serta-merta nyata lalu menghapus or merubah realita hidup kekinian, memang.
Namun mampu hadirkan sensasionalitas tersendiri disisi kedalamanku.

Sekedar ilusi? Tak apa.
Saat sikon mengkondisikan tubuh untuk menggigil, misalnya, ternyata bisa mencipta spirit tersendiri, lalu mau apa?
Pun ziarahi luka, ketakutan, jika ternyata merupakan titik temu kelegaan, lantas mau ribet-ribet kemana lagi nyari plonk diri?
Alih-alih seribu jalan ke Roma, maka seribu pula cara orang memperoleh kenyamanannya.

Nyenggol orang? Tidak.
Masyuk sendiri.

Seperti bermasturbasi?
Ya, ya, terserah saja gimana istilahnya.

Seperti eksperimentalis?
Seperti masokistis?
Seperti musafir mampir di oase?
Seperti penghamba bercinta bersama junjungannya?
Seperti kebuntuan rasio akal yang lantas mengkambinghitamkan lelembut?
Seperti orang-orang saleh berjibaku dengan keimanannya?
Seperti…
Seperti…
Seperti…
Sssttt…! Terserahlah gimana masing-masing orang mempersepsikannya.

Apa juga seperti penubuhan simbol, sejarah, syaraf dan hormon-hormon?
Tidak, tidak, sepertinya tak sespektakuler itu.

Tak bertenggat waktu, tak berarti selamanya.
Sementara saja, parsial pula sifatnya.
Sekejap yang didamba perulangannya.
Nyatra, rapuh, tak nyata, gemas!
Gambaran ngawang-ngawang tak gamblang, menyebalkan.
Tapi bukankah disitu seringkali letak indahnya?

Candu.

Sebagaimana realita yang jalan tak melulu seperti yang diidealkan.
Pun dunia, otoriter dalam tarik ulur mempermainkan keberpihakannya.
“Apalah-apalah manusia itu, selalu sok tau. Kehendak bebas adalah mitos!”
Begitu, kabar terbaru dari sains.

Lalu, mau apa saat dunia imaji dipikir dan dirasa mampu hadirkan pembebasan melalui peran substitusinya?

Biar saja.
Aku mau begitu.
Pokoknya aku masih mau seperti itu.

Namaku Iso.
Aku remukan menungso.

Kisah Kakus

Alkisah, deretan kakus dipinggiran kota.

Kotak-kotak ruang berderet memanjang, biasa dan sederhana.
Pada masing-masingnya terdapat satu pintu, satu lobang angin, satu lampu, satu bak dengan satu kran air diatasnya, lalu satu lobang kakus jongkok dipojokan.
Di bangun, dikelola, dan diperuntukkan bagi seluruh warga.
Konon deretan kakus itu disemayami dua makhluk aneh, sesosok peri peniup ubun-ubun dan sesosok monster api pemakan impuls-impuls otak.

Dua makhluk aneh itu akan wara-wiri menyambangi para pengguna kakus.
Suka-suka si kayaknya, soalnya terhadap beberapanya, mereka cuek-cuek saja.
Acak juga, ntah kakus yang mana, kakus deret nomer berapa yang menjadi target mereka, pun yang akan diluputkannya.
Tak ada kakus-kakus khusus, tak ada pengguna-pengguna khusus.

Iya, siapa saja pengguna deretan kakus tersebut — terutama mereka-mereka yang tengah menggunakannya untuk eek — punya peluang yang sama.
Di sambangi peri peniup ubun-ubun, atau disambangi monster api pemakan impuls-impuls otak, atau bahkan tak disambangi sama sekali.
Dua makhluk itu tak pernah menyambangi si pengguna kakus secara bersamaan, ntahlah, mungkin memang ada kode etik yang diberlakukan pada intern mereka.

Jika yang menyambangi sesosok peri peniup ubun-ubun, mereka akan merasakan sesuatu seperti desir kesejukan di kepala mereka.
Desir itu akan merayapi ruang tengkorak, membuat lancar peredaran darah dan oksigen ke otak, hingga impuls-impuls didalamnya mampu berkinerja secara optimal — mletik, gitu beberapa orang menyebutkan.
Desir tiupan itu diyakini bisa bikin nglangut, menghanyutkan akal pikir, mendobrak kebuntuan dan bebal-bebal, lalu sengaja ga sengaja kerap memunculkan ide-ide/inspirasi yang mungkin sebelumnya tak terpikir.

“Aku menemukan sebuah nama untuk anakku, dulu, saat aku sedang eek di kakus itu,” kata seseorang, memberi kesaksian.
“Aku terbersit tema lagu-laguku, juga di kakus itu,” kata seseorang lainnya.
“Aku donk, dapet pencerahan disitu,” kata seseorang yang lainnya lagi.
“Aku memikirkan jalan balikan ma mantan, disitu juga,” — eh, lho!
“Aku, bla-bla-bla… bla-bla-bla…”
Dan seterusnya, dan seterusnya.

Jika yang menyambangi sesosok monster api, panas!
Sang monster akan membakar ruang kepala, menggerogoti impuls-impuls, mempersempit gerak otak.
Bukan ide-ide/inspirasi yang muncul dari sisi kedalaman, namun berubah jadi pikiran-pikiran yang berangkat dari sisi negatif emosi dan keegoisan diri.
Termasuk persepsi tak apa-apa jika perolehannya dengan semena-mena, membabi buta, sesat, jahat, pun bunuh diri yang dihalusinasikan sebagai jalan suci pembuktian.

“Di sana aku mendengar bisikan untuk mencurangi kompetisi,” seseorang menceritakan sepenggal pengalamannya.
“Niatan menculik kembang desa tetangga, muncul disana,” sekelumit pengalaman seseorang yang lain.
“Ide membobol bank, mendadak nongol saat aku eek di kakus sana,” sekelumit pengalaman seseorang yang lain lagi.
“Konsep pembunuhan berencana, kudapat dari sana,” — wah!
Mmm… Menyoal kesaksian mereka-mereka yang bunuh diri, bagaimana caraku mendapatkan langsung dari orang matinya ya? — ah, sudah-sudah.

Baiklah.

Biasanya mereka mendapati sensasi dikepala, beberapa saat setelah berjongkok.
Backsound ritmis gemericik air dari kran yang dibiarkan sedikit terbuka mengisi bak, lalu pergelangan sebelah tangan yang direndam kedalam ciduk/gayung, sering kali merupakan gelaran karpet merah bagi sang makhluk.
“Selamat dataaannnggg…!” begitulah seolah-olah.

Lalu, bagaimana dengan para pengguna yang tak disambangi mereka?
Yaaa… ga gimana-gimana, biasa-biasa saja.
Paling banter ya cuma bengong.
Atau malah tak punya waktu untuk menikmati sikon, karna ritme yang bergegas.

Sejauh ini, warga kota menganggap dan bersikap tak luar biasa, terkait deretan kakus dipinggiran kota beserta fenomena yang mengiringinya tersebut.
Mungkin karna pernah suatu ketika, pengguna-pengguna yang sengaja iseng meminta sesuatu atau doa-doa tertentu dari peri peniup ubun-ubun maupun monster api pemakan impuls-impuls otak, tak dihijabahi.

Meminta nomer togel, misalnya, angka-angka yang didapat tak akurat.
Atau pengasihan, peruntungan, pamor, kekayaan, jampi-jampi, tak terbukti.
Bahkan tawaran kontrak pertukaran jiwa, tumbal-tumbal, tak pernah terlaksana.

Ntahlah, tampaknya bukan gitu cara dua makhluk aneh itu bekerja.

Warga kota sempat beberapa kali melakukan ritual pengusiran biasa, kecil-kecil, khususnya terhadap sang monster api, namun gagal. 
Meski gitu, tampaknya pengusiran tersebut dipandang bukan sesuatu yang urgent, makanya para tetua selebihnya kerap mengingatkan saja, agar warga lebih hati-hati dan punya filter diri dalam menyikapi.

“Bersitan di kepala tetap sebatas bersitan di kepala, bukan hal nyata.
Pun jika terjadi konflik, maka konflik yang muncul hanya dialami pribadi si pemilik.
Seburuk apapun bersitan yang didapat — selama masih sebatas bersitan —, takkan menyakiti orang-orang diluar diri jika tak mencuat pun terealisasi.
Karnanya tetaplah memilah-milah.”
Gitu kira-kira petuah para tetua.

Iya, deretan kakus dipinggiran kota itu tak pernah ditutup pun ditinggalkan warga, tetap difungsikan, dikelola, dan dipelihara sebagaimana mestinya.
Bahkan kabarnya sudah ada program penambahan fasilitas: kakus duduk, shower dan bath-tub untuk berendam pada masing-masingnya.
Mungkin karna memang tak ada pilihan lain, selain kebutuhan atas tempat pembuangan hajat.

Jika tak mampu berseteru, berkawan saja say, rengkuh, nyamankan, siapa tau jadi menang banyak. — eh, lho, kok? heheee…

—————————————————————————————
Hail…!!!

No distraksi.
Dopamin.
Korteks prefontal.
Alpha-Tetha.
Bla-bla-bla… Bla-bla-bla…
“Eureka! Eureka!” — Archimedes.
“Why is it I always get my best ideas while shaving?” — Albert Einstein.

Mendadak Romansa

Rame-rame euforia kemenangan Real Madrid di Liga Champions Eropa tempo hari, selain menyoroti kepiawaian para pesepakbolanya, mengaitkan pula sang legenda hidup, Zinedine Zidane.
Sekian penghargaan, sanjungan, terdaulatkan padanya, seiring rubrik-rubrik yang seolah mendadak jadi ruang tampil CV — curriculum vitae — nya.
Namun dikedalamanku, mendadak Zinedine Zidane adalah perkara ingatan melanglangi waktu, kembali pada satu penggalan romansa, dulu.

Mungkin bisa dibilang, romantisme masa lalu.
Tentu saja bukan tentang dia or sosoknya.
Meski saat mendapati timeline bersliweran gambar-gambar gantengnya, mendadak muncul degub, lamat-lamat.
Iya, gitu, kayak lirik di lagu-lagu, “… seperti ada desir…” halah!
Apa yang terjadi pada nadi-nadi? Or sumsum tulang?
Namun hey, sekali lagi ini bukan tentang dia or sosoknya, pun aku terhadapnya.
Apalagi dia terhadapku, weee-lha, siapalah aku, hehe….

Uykgfsjgckdoigmjidj jhfuystuiye jhfjhdsjghdakg hiufyadsufgudshfgjdsgh.
Pjkjhuisdhfdjdsangjasff hfhfgdkffhdjagfdhgjdfhgsldjgfdjhfiadh jgimuheguhergwgerhtyejt.

Rindu?

Khidshidfhfakjd gjklajfoiweuruewti oopigokqkj nkjgfihilf.
Oiywruyweiruh8635 higfhfewhfehlqgij jihgignjqgnjrh oiqghjegjeqgnlk gkjeqghjkeqhgqeng kdlfjbgdsfhgifsdj, gfjdglfdhglfdnghfdlgsh.

Biar… Biar… Biar….
Namun pembiaran sebatas pada selubung bentuk-bentuk.
Sengaja, memberangus impuls-impuls, mencegah ingatan meniti pada detail.
Hail, abstrak!
“Biar degub-degub ga lekas hilang,” gitu kata sebagian orang menyoal rasa penasaran, yang tak perlu segera dibayar.
“Biar asiknya ternikmati dengan epik,” gitu deh sebagian lagi berkata menyoal gelitik rasa yang tak perlu ditampik, pun diterjemahkan.

OYhbvjdfkhagdv hjfsgfhjsdbfms,dab hjkbjsdbfnsdbfn.
Hjsbgfnmsdbgmnsbg bnsbkshfksdh bnbnbvcgfuytirw q98678t.

Bjhgzdfig hjgbhjbkghgfhqfb hg ghffjdsfsda nkfbj irutmhrghdsvbxvnzgdfhgfdjgl dghjdfgfoijfkdshag.

Sedikit polesan disungut-sungut imaji, sedikit merekayasa bentukan-bentukan diruang kepala, kadang malah bikin sikon jadi lebih seru (or surealis?).
Hehe… Ga otentik?
Gapapa, untuk beberapa hal, indahnya cukup begitu saja.
Pun jika ini rindu, biarkan rindu ini sekedarnya, tetap tanpa alasan, tetap tak bertuan, tetap tanpa tujuan.
Menyabotase romantisme?
Sing penting ra gawe ontran-ontran,” kata sebuah suara seraya menghadirkan sikon kekinian.

Lagi-lagi, “Panta rhei kai uden menei,” Herakleitos.

Pun, Jika Agama Sebatas KTP? Tak Apa.

Suatu ketika Nietzsche pernah bilang, “God is dead!”
Sekarang, “Religion is dead,” dah ada yang bilang belum ya?
Mmm… dejavu? Gitu deeehhh…

Lha iya kan, sensitivitas agama/beragama tampaknya selalu saja jadi momok.
Agama masih merupakan potensial empuk buat dijual, dipolitisir, dipelintir, di-ether-ether gaje gitu.
Agama dijadikan alat ntap menuju pencapaian suatu kepentingan.
Santer terjadi, agama seolah merupakan sarana transportasi kelas wahid, suatu paketan berisi kendaraan juozzz dengan jalan lintas bebas hambatan untuk peraihan kekuasaan penguasa or calon-calon penguasa.
Lacur terjadi, agama adalah jalan kejayaan di dunia saja?

Atas nama agama, kemanusiaan dinomorsekiankan.
Atas nama kemuliaan agama, manusia-manusia menghujat, mencaci-maki, menyumpah-serapahi, mengkafir-kafirkan dan mengharam-haramkan eksistensi manusia-manusia lain.
Atas nama bela agama, manusia-manusia menebar kebencian, kasar, beringas, mengancam, menakut-nakuti, meneror sana-sini.
Atas nama penegakan agama, manusia-manusia bahkan tega menghalalkan penghamburan darah-darah pun pencabutan nyawa-nyawa sesamanya.
Sungguh, konsep beragama yang menyeramkan! Kejam! Tragis!
Memuakkan! Ironis!

Sebegitukah Tuhan dilacurkan?
Pencatutan nama seenaknya tanpa ewuh-pakewuh, pengatasnamaan Dia dengan gampangnya, dijual murah, hingga menghilangkan greget kesakralan?

Apa kabar agama welas asih yang konon berorientasi pada kebaikan pun kemuliaan dunia akherat?
Apa kabar agama yang konon mendiasporakan kedamaian ke segala penjuru semesta?
Tersisa sekedar jargon-jargon?

Ideal agama/beragama dengan orientasi dunia akherat, merupakan konsep yang masih terlalu tinggi/mahal/briliant untuk bisa dijangkau dan diterima masyarakat secara umum?
Ideal agama/beragama dengan orientasi dunia akherat ditengah keberagaman dan kemajemukan sikon masyarakat, cuma bisa dianut orang-orang yang punya keterbukaan pikir dan hati yang lapang saja?

Sepertinya beragama memang butuh kesiapan mental, kedewasaan, kearifan pun kecerdasan dalam mencerna ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya.
Iya, untuk tak sekedar menelan mentah-mentah dan parsial, lalu terkesan culture shock, alias gegar budaya.
Nah loh, beragama untuk pencerahan or pencerahan untuk beragama?
Alih-alih untuk kemaslahatan seluruh umat, jangan-jangan kesalehan dan kedalaman makna beragama pun ber-Tuhan hanya dimiliki segelintir orang.

Realitanya kerap terjadi agama/beragama yang justru memberangus kewarasan-kewarasan, seolah beragama adalah keharusan berkacamata kuda.
Jika sekedar mengunggulkan dan mengagungkan agama sendiri dan meyakininya dengan tetap menjaga toleransi terhadap entitas lain, tak memicu potensial friksi, tak apa, wajar saja.
Namun jika disertai dengan anggapan sok berasa paling suci, pun implementasi sikap dan aksi bahwa agama sendiri punya otoritas mutlak untuk diberlakukan sebagai agama tunggal dimuka bumi ini, lak ya apa kata dunia?

Saya pribadi tidak tau seberapa radius jangkau keterbukaan pikir dan hati saya, or sejauh mana kewarasan saya.
Saya tidak pernah mematerialkannya, or menghitung, mengukur lalu mewakilkannya dengan prosentase angka-angka, saya tidak perduli.
Yang saya tau dan saya sadari, bahwa saya punya teman-teman dari beragam agama, saya enjoy, dan saya tidak merasa terganggu dengan perbedaan itu.

Saya tidak mau mengkafir-kafirkan teman-teman saya, tidak mau mengharamkan interaksi, terlebih menghalalkan tumpahnya darah-darah mereka.
Tidak terhadap teman-teman saya, tidak terhadap mereka-mereka yang kebetulan berbeda agama dengan saya, pun tidak terhadap siapapun yang bahkan tidak beragama apapun.
Faktanya mereka ada, dan menjadi bagian dari warna dunia.
Mereka bagian dari tumbuh kembang kehidupan saya.
Indah banget rasanya klo bisa saling respek, toleran, damai, meski ditengah perbedaan agama, budaya, suku, ras, bahkan berbeda bangsa.

Masih tandas diingatan, sikon kosan, warung makan, kedai kopi, angkringan dll, dengan ragam dialek, budaya, agama, suku, ras, dan bangsa, saling akrab menyapa pun bercengkrama.
Masih tandas diingatan, sikon berkegiatan, beraktivitas bersama tanpa memandang krusial perbedaan background, baik agama, budaya, suku, ras, pun bangsa.
Masih tandas diingatan, mutualisme pengerjaan project-project berbayar sekalipun.
Indah, damai berrelasi dan berjejaring dalam kebhinekaan.

Jika keindahan-keindahan seperti itu harus saya tukar dengan pengerdilan diri atas nama agama, maka saya dipandang tak beragamapun tak apa.
Jika selebihnya label beragama saya dipandang sebatas formalitas KTP saja, sila, saya tak apa.
Lha iya kan, jika beragama justru menjauhkan diri dari ketenangan dan kedamaian lahir batin, or malah sekedar mendatangkan penderitaan a.k.a malapetaka saja bagi khalayak pun semesta, lak kayaknya lebih baik tak beragama, tak apa.


Play Imagine – John Lennon

KE (JUT) TAN

Diam-diam diawal, menapak berjingkat-jingkat.
Sssttt…!
Suar dilesatkannya, namun sengaja ia redam sendiri untuk berputar sekedar pada ruang, ruang batas rengkuhnya.
Sungutnya, tertebar grepe-grepe mencari jalan, coba temukan celah untuk hadirkan satu kejutan.
Pencurian bibir.

Iya, ia tengah berhasrat mencuri setangkup bibir, bahkan mungkin lebih.
Bibir itu bibir dari masa lalunya.
Bibir itu sudah ia curi sekian kali sebelumnya, sejak lepas masa kebersamaannya.
Namun pencurian-pencurian itu terjadi sebatas mimpi, hanya ilusi, delusi, halusinasi, imajinasi, or entah apa lagi penamaan tepatnya.

Kali ini ia tak mau membuang begitu saja kesempatan atas Bibir yang tengah melintasi ruang waktu.
Ia ingin memanfaatkannya dengan memperangkap, menangkap, agar ia bisa nyata mengecap lagi romantismenya, disini saat ini.
Perduli setan, kehidupan baru si Bibir incaran.
Perduli setan, keindahan yang kabarnya saat ini tengah dijalani si Bibir incaran dengan penuh kebahagiaan.

Sekedar kecup jauhnya selama ini, kian hari kian tak mampu membuatnya puas.
Kecup jauhnya kini sudah dirasa tak cukup mampu mendongkrak keterkaitan rasa.
Seperti masturbasi yang tak pernah berujung pada orgasmenya, tak bersambut, dari hambar jadi kian hambar, bikin kalut.
Klo bukan karna angin yang siap mengenyahkan, maka kecup jauhnya pun seperti sudah terhalang pagar beraliran listrik, kian dilesatkan kian tinggi pula sengatan.
Gitu dehhh…

Rentang  jeda tak berpagut, sepertinya mendorong rasa, pikir, dan geraknya tersendiri untuk ia tak ragu beraksi sebagai pencuri.
Pun hasrat sentuh dan disentuh yang sekian lama diendapkannya, mungkin kian berat untuk terus tercover dikepala.
Karnanya indera-inderanya begitu awas untuk merampas dan memperjuangkan pendakuan atas celah-celah yang sontak ditemuinya, tanpa ba-bi-bu…

“Bibir itu Bibirku, akan kujelangi,” si Pencuri menjejali diri, mendaku membabi buta.

( ( ( ( ( kejutaaannn… ) ) ) ) )

Siapa kejutkan siapa?
Kejutan makan tuan?
Ups!

Malam datang, saatnya ia menjemput kerinduan.
Apa lacur, ternyata Bibir yang menjadi target pencurian itu, lantang menampik untuk dicurangi.

“Kau sudah sangat tahu, ketidakrespekanmu sudah menihilkanmu.”
Bibir tegas bersuara tentang satu penghilangan.
Penghilangan sosok dan segala yang terkait tentangnya, penghilangannya disepenggal episode masa lalu.
Sosok itu, si Pencuri, yang justru tengah berusaha mencuri celah waktu demi romantisme dejavu.
Tragis!

“Kau sudah jelas tahu, aku punya Puan baru.”
Bibir lugas suarakan kesetiaan.
Begitu, saat tawaran untuk dicuri termulai dari sesungging cengiran sumringah si Pencuri.

“Owh, ya-ya…” parau, si Pencuri berusaha menguasai keadaan, saat rencana kejutannya ternyata berbalik mengejutkan dirinya sendiri.
Sontak kesumringahan itu berubah sungging garing.
Tak butuh lama, lantas bersungut-sungutlah si Pencuri, membawa kegagalannya kembali ke peraduan.
“Tak lagi milikku. Tak bisa lagi kucuri. Ia bersama Puan barunya. Kenapa?”
Si Pencuri patah hati.

Menangis?
Mengumpat?
Malam kian larut, kehiperbolisan kian merengkuh dengan angkuh.

Suar yang dilancarkannya terlanjur pecah pada ruang.
Gemanya merayapi gendang telinganya sendiri.
Kepalanya penuh echo.

Echo-echo-echo…

“Gkjsfhuisyzzzzzfjghcfhsd hjksfnjb hjhjggg hh djgiug dsfgyuyhwgr bjhggf gqwrbggk hjdfhhsafhsdgfsjdfg guyrgha hjkfsafhsdfhsdkj.”

“Gimana temannya, indahkah perjumpaan semalam?”

“Teman apa mantan? Cieee… teman, cieee…”

“Ukjhf jhdsfbjgjfshdzzz sdgfsdfgsdfg nskfzzts sdfhksfbsbkhkjh fsjgfhgsyyirywb.”

“Pencurian terjegal kesetiaan mantan pada Puan barunya?”

“Pengen ngelimpe ni yeee…”

“Alkgjzzzsssttt dfghhkut huihturw mkjhytworhwrg hjhgugieryggh gugwerwygg zstjfdgfrr khsdfbsd gvchgjguyui hvghghjyut wqfkjebjhbhbvfdsg.”

“Apa??? Mimpimu berpagut, harus nyangkut kena sikut???”

“Mjhgdfjhgduyft huyghghc hyutyey ojonuby xsxxctbuyr gufytytguytvcyfutsfyrioty ungyufgcghgugnvghvghvgfughjgnhfsgg jvhv.”

“Buahahahahahahaaa…!”

“Huiybvcssttsttrkjkhkfh hgfyuteyth hhgfdkghpkmbcqsarrthrh bvdjhguwef.”

“Modiaaarrr…!”

“Rnvhguaghk hhefhhh hhggweonzcd sdkjhfsdf hgksgfk hytreghg gjhgfhjsdbsavf xcskmdnhjiuyerhgvg frtzsfdtafj hhghkhfagfhdsfj gfjhagft”

“Kau, jangan habis dulu donk. Muaaahhh…”

“Wuierewugrbcgvgvygfy guygfgfu zsdjytrubczxcmknhcjifnervhgbvygvdrjcwd bhgcydwefyttrtfhgcopjzzcsdxzrcxtxfftwc dgfhjhsfgbc iuywroqyhjf.”

“… bla-bla-bla… bla-bla-bla….”

“… bla-bla-bla… bla-bla-bla….”

Damn you, echo…!

Echo-echo bangkitkan ego.
Persetan si Bibir, target pencurian yang luput.
“Aku membencimu wahai Bibirku,” geramnya, tetap dengan pendakuan semena-mena.
Sepertinya rengkuh ego segera berdirikan diri untuk tak ambil perduli.
Atau tentang kesengajaannya menipu diri demi menyamankan hati?

Ya-ya, bisa jadi.
Mungkin agar esok bisa berani sekedar sembunyi-sembunyi mencuri hari, lagi.

Mungkin kenaifan itu yang lantas membuatnya enggan undur.
Ehem, gengsi ni yeee… atau… tak tau diri? eh, heheheheheee…

“Ranahku tak harus ada kamu. Pun jika kau tengah ada disana, aku takkan sambangi sudutmu. Tidak pula dengan mataku!”

( ( ( ( ( kejutaaannn… ) ) ) ) )

Malam datang lagi, kali ini ia mencari kursi.
Kursi yang mungkin akan dijadikannya sebagai penentu untuk menyamakan posisi, posisinya terhadap Bibir, si target pencuriannya kemarin.
Gelap ruang, apa yang akan dilakukannya?
Lagi-lagi, apa lacur, dari sekian kursi, ternyata tanpa sengaja terpilih kursi tepat dibelakang si Bibir yang tengah mesra bercengkrama bersama Puan barunya.

Kenapa?

Demi Dewa Penguasa Niatan-niatan Curang.
Realita itu sontak membuatnya mati gaya.
Meski ia telah menggeser tempat duduknya didetik pertama penyadarannya pada sikon.
Alih-alih mencurangi, malah dibikin keki sendiri.
Menyedihkan?
Tidak-tidak, semesta tengah memberi lawakannya, hahahahaaa…

Demi Dewa Penguasa Bebal Banal.
Realita itu seperti menampar, menjejal lewat pandang, meluruh pada segenap indera, tentang indah kebersamaan si Bibir dengan Puan barunya.
Sesiapa bersikeras diluar batas porsinya, seringkali semesta yang akan menjungkirbalikkannya.

Demi Dewa Pemegang Tampuk Segala Maha.
Semesta-semesta-semesta… apa-apa semesta, tapi ya gitu deh semesta.
Adakah campur tangan semesta untuk ketidaksengajaan peristiwa yang menimpa?
Oh ya, tentu saja… semesta merekam segala jejak.
Semesta punya hukum alamnya.
Adakah yang bisa melawan?

Jyetergfjhgjh sjhgcgsafxzsdrtryewr.
Ajkhgjdbfgdbgk mgdjghipmnhuzxxcxvzzseetydfqfj.
Jhhgngysfyretihwgjh hjgsdafuiuyuttqrwgg gjsgfsfa hfusay.
Iugfsgfsgf gudgfhgfhsgfh bttyrtwerqojtrvnmvbc.

Hai, halo…
Apa kabar hasrat-hasrat ingin terlihat?
Seberapa suar yang telah dilecutkan demi pijakan-pijakanmu?
Berapa kepala yang sudah menoleh, sekedar lirikkan mata,
ditengah rehatnya terhadap resah-resah dunia?

Atau tentang prosentase kegagalanmu
atas niatan melonjak yang kecurangannya tanpa sengaja harus terkuak?

Njbfhjweqytgvjhsdhhdghdsh hsdfhvcgxfgcdgew.
Jjihedbwfggywef bjhsdfsvdfsgfhsf hfewgfuwgfvutqwomnhbvsdvb.
Mbhudwbugqrtyfvvh fhdgfhqgsfutwr gwtft dsvfgiytituituqwe bsgfsgf.

Hai, halo…
Apa kabar jiwa-jiwa culas?
Pernahkah semesta menjungkirbalikkanmu sedemikian rupa,
atas keculasan-keculasan yang sudah, tengah, pun akan kau realisasikan?

Nvjhsdfguuyrwennu yutfydsfghsdvgaftyrthweioqujbh.
Knhsbhfvdshahgsdhfgyhv bhdsbfhgwoiweyruwgebhjbhv.
Uhfsdfugwqigewuytrwrhhv bhjsfsvfgsfg.

Hai, halo…
Apa kabar ruh-ruh pemberontak? Atau penghianat? Eh, mmm…
Sudah sampai mana kau bergerak?
Owh, ya, tentu saja, berproses.
Sebagaimana hidup, adalah tentang proses.

Cbcshfsdyfokpb mhdsbcgvsgufyqytdrftwqgv.
Rjvvvbxczdfsewqwew mknjbjhvnbgdqfuqgfhv bhsvhvsugfgyuwfgiewgfg.
Cbggyugyuguyguygquwgfh vnbvjvhvhihg bhuv.

Halo… kamu.
Mari kita lanjutkan cerita hari esok,
hingga ujung-ujung sepatu harus terhenti pada entah, karna entah.

Vchvqdgnwvhewhfiuey zawsvvwmijhu.
Onijhityirsdfzxczngh mjbdhgcvjewyuqrgw hfbwqgfuwyqgfhjwqevdwqfvbfj.
Lnjfehqfq jihfuefwbeb edftqwe nhvghcfyytyuyqweyrwqbccxz.
Petrywqrtuwqoyrihjvnbv vbbhcvhsgfcqyutrf.

Echo-echo-echo…
Damn you, echo…!

S E T E R U

SETERU #1

Ia menghampir padaku dengan setumpuk buku.
Buku berisi cerita-cerita fiksi, mungkin hasil-hasil masturbasinya selama ini, produk-produk histerianya pada zaman, or apalah-apalah.
Yang jelas, ia menjual luka dengan bias abu-abu sebagai balutannya.
Ia citrakan tentang ketidakbiasaan yang dijadikannya kekuatan, sekedar anomali gloomy dijadikannya andalan?
Gloomy-gloomy-gloomy… jamak, ah, yang melakukannya.

Ketidakbiasaan itu pada akhirnya jadi seragam.
Basi?

Pun, mungkin ia lupa (or alpa?) bahwa catatan reka-reka tetap punya logika.
Surealis, tak lantas membuang benang kerealistisan.
Metafora, bukankah perlu ada kedalaman yang diwakilkan, bukan sebatas pengedepanan liukan liat diksi-diksi?

Kusodorkan ia tumpukan buku serupa, meski jelas tak sama.
Semoga ia berfikir, tentang cerita, bukan hanya dia yang punya.
Identifikasi rasa dan menguraikannya, bukan hanya dia yang melakukannya.
Tapi ah, dia sekedar meracau berputar-putar saja ditepian, bukan merangsek.

Merangkai, menghubungkan, lalu membahasakannya pada lembaran-lembaran kertas? Dia?
Huh, non-fiksi andalannya saja — yang mungkin dijadikannya senjata memperamai perseteruan kami — malah berubah fiksi, karna verifikasinya yang entah, kaprah.
Berpotensi menyesatkan?
Alih-alih panas-panasi — or mencitrakan kekerenan diri? — etapi yang terjadi malah dianya kebikin panas sendiri, heheheheee…

Padahal konon ia berbackground, pun mengecimpungi dunia profesional tarian pena, sesuatu yang selama ini sepertinya demikian dibanggakannya.
Ya-ya, semoga ia berhenti merasa paling bisa dan berkompeten atas ranah.

——————————————————————-

SETERU #2

Ia berdiri dimuka pintu, menghalangi jalanku.
Menyeringai, menjijikan.
Idih, kenapa?

Mungkinkah dimaksudkannya untuk menumbuhkan takut, ciut nyali, or segan?

Terhadapku? Salah sasaran.
Aku tidak takut, ia sama sekali tak menciutkan nyali, sedikitpun tak membuatku segan padanya.
Gigi grimpil kecil-kecil, seseram apa?

Di mataku, wajahnya terlihat asal mengejek saja.
Di mataku, kepalanya yang terlihat asal besar, sekedar tempurung dengan gumpalan isi pada salah satu sudut ruangnya?

Dingin, kutampar saja dia.
Semoga mampu membangunkannya dari dunia fiksi rekaannya sendiri.
Semoga mampu membelalakkan dua matanya, tentang dunia yang tak hanya seluas ruang imajinya.

——————————————————————-

SETERU #3

Tanpa sengaja aku berpapasan dengannya dimulut gang.
Wajah-wajah, isyaratkan bahwa perseteruan kami belum surut.
Namun agaknya tanah basah akibat guyuran hujan sesiangan tadi, memberi dingin tersendiri di masing-masing kedalaman kami.

Langkah-langkah terhenti.
Seperti biasa, lagak innocent ala-ala bocah, kembali dipasangnya demi raih empaty.
Lengkap dengan cengir kudanya? Tentu saja.

Apa yang akan dicelotehkannya kali ini?
Apapun, biarkan sore ini aku yang bicara.
Sebagaimana layung — gitu ia sering menyebutnya — yang diagungkannya tak selalu jadi miliknya, maka dilayung ini ia kucukupkan untuk mendengarku saja.
Terhadap dia yang mengusikku, aku tak perduli dengan hak kebebasannya bersuara.

Kurangkul dia dengan sebelah tanganku dilehernya.
Sedikit tak halus, kuajak dia jalan menyusuri gang.
Kuceritakan padanya tentang seorang perempuan yang berniat membeli anak tangga.
Anak tangga yang dijadikannya sarana mencapai tujuan.
Sekelumit persepsi saja, framing pada anak tangga yang diniatkan sebagai pijakan.

Kemarin, kau coba membeli anak tangga untuk pijakan eksistensimu? Sebegitunya ya, kamu,” aku acuh tak acuh, tanpa berharap jawab darinya.
Atau, tentang usaha melepas hasrat atas garba yang rindui oasenya?

Dia hanya nyengir kuda, garing.
Kulepaskan rangkulanku.

Sedetik, dua detik.
Ia berlari menuju pohon, memanjatnya.
Dipetiknya daun-daun, ditampung, dikumpulkan diujung bawah dress butut selututnya, lalu dilempar-lemparkannya ke arahku.
Aku setan jenaka, gitu kali pikirnya.

Alunan Stairway To Heaven – Led Zeppelin, mendadak menggema entah dari mana.
Mashoook!

Tiga detik, empat detik.
Kuambil ketapel, kubidikkan kerikil padanya berulang-ulang.
Kena! Kena! Kena!

Stairway To Heaven – Led Zeppelin terus menggema saat aku beranjak perlahan meninggalkan dia, seteruku, dengan sekian benjolan di kepala, layaknya Sincan.
Damn! GOD! Bukankah alunan itu terlalu elegan untuk menjadi backsound fragmen sore kami? 

There’s a lady who’s sure
All that glitters is gold
And she’s buying a stairway to heaven
When she gets there she knows
If the stores are all closed
With a word she can get what she came for
Ooh ooh ooh ooh and she’s buying a stairway to heaven

There’s a sign on the wall
But she wants to be sure
‘Cause you know sometimes words have two meanings
In a tree by the brook
There’s a songbird who sings
Sometimes all of our thoughts are misgiving

Ooh, it makes me wonder
Ooh, it makes me wonder

There’s a feeling I get
When I look to the west
And my spirit is crying for leaving
In my thoughts I have seen
Rings of smoke through the trees
And the voices of those who standing looking

Ooh, it makes me wonder
Ooh, it really makes me wonder

And it’s whispered that soon, If we all call the tune
Then the piper will lead us to reason
And a new day will dawn
For those who stand long
And the forests will echo with laughter

If there’s a bustle in your hedgerow
Don’t be alarmed now
It’s just a spring clean for the May queen
Yes, there are two paths you can go by
But in the long run
There’s still time to change the road you’re on
And it makes me wonder

Your head is humming and it won’t go
In case you don’t know
The piper’s calling you to join him
Dear lady, can you hear the wind blow
And did you know
Your stairway lies on the whispering wind

And as we wind on down the road
Our shadows taller than our soul
There walks a lady we all know
Who shines white light and wants to show
How everything still turns to gold
And if you listen very hard
The tune will come to you at last
When all are one and one is all
To be a rock and not to roll

And she’s buying the stairway to heaven

————————————————————–

SETERU #4

Berkacak pinggang, mengangkat dagu.
Mata perlawanannya tertuju padaku.
Aku melihatnya berdiri angkuh.
Sombong sekali ia bergelayut diantara pilar-pilar pena bentukan sejarah.

Ah, kutabrak saja dia!
Sontak, jatuhlah kami kedalam danau.
Tak apa kami tenggelam bersama.
Itu lebih baik, daripada membiarkannya pongah menikmati euforianya dalam menghitung peran-peran.

Iya, aku menabraknya serta-merta.
Jatuh ia dibawahku, kami berhadap-hadapan.
Nyatra tak kulepaskan cengkeraman tanganku dari krah kemejanya.
Melaju kami menuju dasar, bersama riang gelembung udara dalam air yang seolah menari mengitari tenggelamnya kami.

Api dimatanya padam.
Sorot mata itu, kini terbiarkan bisu.
Tak ada perlawanan.
Tak ada pemberontakan.
Tak ada pergolakan.

Meski dunia air mengkondisikan untuk slow-motion, namun gravitasi memuluskan gerak kami merentang menjauhi permukaan.
Pelan, tapi pasti.

Lama… dasar danau itu belum menunjukkan tanda-tanda keberadaannya.
Seberapa dalam? Seberapa dalam?
Entah…! Akunya enjoy saja.

Suwung Penuh

This slideshow requires JavaScript.

Thx to : Ozsa Erlangga buat rilisannya —> Giri Suwung – SARISARIN
Poems in pic gallery, written by Ozsa Erlangga

—————————————————————-

Lalu ia kata,
“Seperti Rahwana cuma melakoni takdirnya pada Janatri.
Molekul Rahwana merasuk hatimu.
Sumprit deh… Kayak macan yang cuma maem daging.
Ya itu, cuma itu saja. Kamu udah ga butuh apa-apa.
S U W U N G …”

Pun aku,
“Kayak lagi gemez kepentok paradox.
Pengibaratan ini-itu-anu, untuk begini-begitu-nganu.
Gitu aja terus, klo kepala lagi nemu rancu-rancu.
Ya-ya, bunder-seser punya siapa? Sentuh ini nyata.
P E N U H …”